TIGER.web.id - Tepat hari ini, Senin (23/11/2020), Undang-Undang (UU) Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Nomor 26 Tahun 2020 genap berusia 20 tahun sejak resmi diberlakukan pada 23 November 2000.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan ( Kontras) memberikan catatan dan penilaian dalam memaknai 20 tahun berlakunya UU tersebut.
Staf Divisi Advokasi Kontras Tioria Pretty menilai, UU Pengadilan HAM yang sudah berusia 20 tahun tersebut belum efektif memberikan akses terhadap keadilan bagi bangsa Indonesia.
"Ini bukan hanya kesimpulan, tapi juga pengalaman yang kita semua bisa saksikan kejadiannya saat ini," kata Tioria dalam Webinar "Melawan Impunitas: Catatan Kritis 20 Tahun UU Pengadilan HAM" Senin (23/11/2020).
Berdasarkan pemaparannya, ada dua yang menjadi pokok permasalahan mengapa Kontras menilai UU tersebut belum efektif.
Pertama, mengenai minimnya political will.
Ia melihat hal ini sudah terjadi sejak awal pembentukan UU Pengadilan HAM di mana saat itu Indonesia tengah berupaya mencegah kasus Timor Timur tidak disidangkan melalui peradilan HAM.
Oleh sebab itu, ia menilai bahwa Indonesia akhirnya membuat UU Pengadilan HAM Nomor 26 Tahun 2000 tersebut.
"Isinya mayoritas adalah copy paste dari Statuta Roma, tapi ada beberapa hal yang tidak dimasukkan. Dan juga ada beberapa hal yang disesuaikan sehingga jadilah UU Nomor 26 Tahun 2000 itu," jelasnya.
Adapun pelanggaran HAM berat berdasarkan UU Pengadilan HAM meliputi Kejahatan Genosida, dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan.
Berdasarkan Statuta Roma, ada empat jenis kejahatan yang termasuk ke dalam pelanggaran HAM berat. Namun, kata dia, Indonesia hanya mencantumkan dua jenis kejahatan di dalam UU Pengadilan HAM.
"Kalau kita lihat perbedaan, pelanggaran HAM berat berdasarkan Statuta Roma itu ada empat, kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Sementara di UU Pengadilan HAM itu hanya dua yang dimasukkan yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan," jelasnya.
Hingga kini di Indonesia, kejahatan perang dan kejahatan agresi dianggap sebagai kejahatan biasa dan tidak masuk dalam yurisdiksi Pengadilan HAM.
"Karena dia tidak bisa dibawa ke pengadilan HAM, ya konteksnya dia dibawa ke dalam peradilan umum biasa," ucapnya.
Selain itu, ia melihat adanya mekanisme pembentukan pengadilan HAM yang sarat politik.
Tioria mencontohkan, di Indonesia diperlukan rekomendasi DPR untuk merekomendasikan kepada Presiden terkait pembentukan pengadilan HAM.
"Terakhir-terakhirnya pembentukan pengadilan HAM itu ada di tangan presiden. Jadi kita lihat di sini ada banyak aspek politik yang bermain," ungkapnya.
Pokok permasalahan kedua, sebut dia, adanya celah normatif yang memungkinkan penundaan proses yang tidak perlu secara terus-menerus terkait penyidikan, penyelidikan, dan pengadilan.
Hal ini lah yang menurutnya membuat UU Pengadilan HAM dianggap tidak maksimal dalam pelaksanaannya.
"Oleh karena itu ada peluang solusi, yaitu dengan revisi UU Pengadilan HAM. Setidaknya karena terkait dengan kehendak politik itu di luar hal kongkrit yang susah untuk kita lakukan saat ini," ucapnya.