Tiger.Web.id - Stella Christie, seorang akademisi Indonesia dengan reputasi internasional, resmi dilantik sebagai Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi dalam kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran pada Senin (21/10/2024).
Stella, yang sebelumnya menjabat sebagai Guru Besar di Tsinghua University, Cina, serta meraih gelar Magna Cum Laude dari Harvard University dan gelar S2 dan S3 dari Northwestern University, kini akan berfokus untuk memajukan pendidikan tinggi di tanah air.
Saat ditanya tentang pandangannya terhadap sistem pendidikan Indonesia, Stella mengapresiasi perkembangan akses pendidikan dasar hingga menengah.
Menurutnya, akses pendidikan dari tingkat TK hingga menengah ke atas sudah cukup baik, meskipun masih perlu perbaikan.
Baca juga: Mahfud MD: Ada Maksud Tersembunyi di Balik Menteri Pilihan Prabowo
"Data yang saya baca menunjukkan bahwa kebanyakan orang di Indonesia sudah memiliki akses pendidikan dari TK hingga menengah atas. Tentu masih ada yang perlu diperbaiki, tetapi ini sudah sebuah langkah besar," ucapnya dikutip pada Rabu (23/10/2024).
Namun, Stella menekankan, masalah utama yang dihadapi adalah pada jenjang pendidikan tinggi. Ia melihat adanya kesenjangan antara pendidikan dasar dan menengah dengan pendidikan tinggi.
Stella berpendapat bahwa pendidikan tinggi seharusnya lebih berorientasi pada penciptaan pengetahuan baru, bukan sekadar mempelajari materi yang sudah ada.
"Pendidikan tinggi berbeda dengan SMP dan SMA. Di jenjang ini, pengetahuan baru harus diciptakan. Oleh karena itu, universitas harus terus menghasilkan inovasi dan mengajarkan mahasiswanya pola berpikir yang menghasilkan pemikiran-pemikiran baru," jelasnya.
Stella juga mengkritik minimnya keterlibatan dosen di Indonesia dalam melakukan penelitian.
Baca juga: Makan Gratis Belum Bergulir, Prabowo: Kita Tak Punya Tongkat Nabi Sulaiman
Menurutnya, dosen di negara-negara maju lebih banyak berfokus pada penelitian, sementara di Indonesia ekosistem untuk mendukung dosen dalam penelitian masih belum optimal.
"Dosen di negara-negara maju, seperti di tempat saya mengajar di Tsinghua University, adalah peneliti terlebih dahulu, baru kemudian pengajar. Saya sendiri menghabiskan sekitar 65-70 persen waktu saya untuk penelitian, dan itu yang membuat saya bisa mengajarkan kepada mahasiswa pengetahuan yang paling baru dan relevan," ujarnya.
Stella menambahkan bahwa di Indonesia, dosen sering kali terbebani oleh kewajiban mengajar yang berat, sehingga sulit meluangkan waktu untuk melakukan penelitian.
Baca juga: Birokrasi Jangan Ribet dan Lelet, Prabowo Izinkan Menteri Pecat Pejabat Pemalas
Berdasarkan riset dari The Conversation, diketahui bahwa beban kerja dosen di Indonesia mencakup kewajiban memenuhi Tri Dharma —mengajar, melakukan penelitian, dan terlibat dalam pengabdian masyarakat. Beban ini sering kali membuat peran dosen dalam penelitian terabaikan.